8 Filosofi K3 Menurut IASP

Setiap perusahaan atau organisasi tentu memiliki visi dan misi yang menjadi landasan spiritual dan landasan moral untuk mencapai tujuan perusahaan. Aspek K3 seharusnya menjadi bagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu perusahaan yang peduli terhadap aspek keselamatan. Keberhasilan K3 dalam perusahaan ditentukan oleh empat faktor yang disebut 4P, yaitu: Philosophy, Policy, Prosedures dan Practices.

K3 harus didasarkan adanya landasan filosofi k3 yang kuat dari manajemen dan semua unsur yang terkait dengan visi dan nilai-nilai yang dimiliki perusahaan. K3 harus menjadi filosofi (Philosophydasar perusahaan dalam menjalankan bisnisnya, bukan semata untuk mencari keuntungan.

Selanjutnya, K3 memerlukan adanya kebijakan (policy) dari manajemen puncak untuk memberikan arahan mengenai K3. Kebijakan saja belum menjamin bahwa K3 dilaksanakan dengan baik. Untuk itu, diperlukan adanya prosedur (procedures) yang menjadi landasan operasional dari penerapan K3.

Namun demikian, walaupun perusahaan telah memiliki prosedur lengkap tidak akan berguna jika tidak dijalankan dengan konsisten dan berkesinambungan (practices).

International Association of Safety Professional (IASP) adalah asosiasi ahli keselamatan sedunia yang bermarkas di USA. Menurut IASP Filosofi K3 terbagi menjadi 8 filosofi k3 yaitu:

01. Keselamatan adalah Tanggung Jawab Moral

Intinya, etika memegang visi positif berkenaan apa yang benar dan apa yang baik yang harus dilakukan, pun dalam keselamatan. Hal ini mendefinisikan apa yang “layak” diupayakan sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan dan tindakan kita. Cedera dan kematian di tempat kerja terlalu sering dilihat secara sempit hanya sebagai angka-angka statistik.

Prinsip ini menyebutkan bahwa masalah safety adalah menyangkut tanggung jawab etik atau moral selaku pengusaha atau majikan terhadap pekerjanya, masyarakat dan lingkungannya. Masalah keselamatan dilihat sebagai tanggung jawab moral untuk melindungi keselamatan sesama manusia. Keselamatan bukan sekadar pemenuhan perundangan atau kewajiban, tetapi merupakan tanggung jawab moral setiap pelaku bisnis untuk melindungi keselamatan pekerjanya.

Jika seseorang membangun perusahaan, pabrik, tempat kerja dan kemudian untuk kepentingannya, mereka mengangkat para pekerja untuk menjalankan roda produksinya, sudah sewajarnya mereka bertanggung jawab secara moral terhadap keselamatan para pekerjanya. Mereka harus melihat keselamatan pekerja tersebut akan membawa dampak terhadap kesejahteraan keluarga di rumah, anak dan istrinya.

Seorang pekerja pula memiliki tanggung jawab terhadap keluarga jika mengalami kecelakaan, karena penderitaan akan ditanggung oleh seluruh keluarganya. Oleh sebab itu, peristiwa kecelakaan bukanlah sekadar angka-angka statistik semata, namun memiliki dimensi kemanusiaan yang lebih luas.

02. Keselamatan adalah Budaya Bukan Sekedar Program

Komitmen dan partisipasi dari seluruh lini organisasi diperlukan untuk menciptakan dan memelihara budaya keselamatan yang efektif. Setiap orang dalam organisasi, dari manajemen puncak hingga pekerja baru, memliki tanggung jawab dan akuntabilitas untuk mencegah kerugian dan kecelakaan.

Sehingga, K3 tidak hanya dipandang sebagai program (Misalnya: hanya untuk mendapatkan sertifikat SMK3 atau hanya untuk kepatuhan terhadap hukum yang berlaku bahkan lebih parahnya lagi hanya sebagai pemenuhan syarat tender pada suatu proyek wkwkwkwk) melainkan lebih kepada tata nilai budaya diperusahaan.

Padahal, K3 merupakan cerminan dari budaya (safety culture) dalam organisasi. K3 harus menjadi nilai-nilai (value) yang dianut dan menjadi landasan dalam pengembangan bisnis. Banyak manajemen terjebak dengan kondisi ini. Mereka sekadar mengejar target untuk mengejar penghargaan K3 dari Menteri atau Presiden, sedangkan budaya K3 diabaikan sehingga yang dihasilkan adalah standar K3 yang semu.

03. K3 adalah Tanggung Jawab Manajemen

Siapa yang paling bertanggungjawab terhadap K3? Apakah pekerja, manajemen, atau Departemen K3? Jawabanya tentu semuanya karena K3 adalah tanggung jawab bersama. Namun, pihak yang paling berkepentingan dan bertanggung jawab penuh adalah menajemen organisasi atau perusahaan.

Sebagai pemilik atau pengusaha, perusahaan bertanggung jawab terhadap semua aktivitas usahanya termasuk aspek keselamatan dan kesehatan kerja yang timbul dari proses atau aktivitas operasinya. Tanggung jawab ini tidak dapat dialihkan, tetapi dapat dilimpahkan (cascade) secara beruntun ke tingkat yang lebih rendah. Namun, tanggung jawab utama terletak di tangan manajemen puncak.

Selama ini, manajemen sering melemparkan tanggung jawab K3 kepada para pengawas dan jika terjadi kecelakaan akan meimpahkan kepada mereka yang berada di tempat kerja. Padahal, secara moral dan tanggung jawab mengenai keselamatan terletak pada manajemen. Tanggung jawab ini tentu dalam wujud kebijakan, kepedulian, kepemimpinan dan dukungan penuh terhadap upaya keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja.

04. Pekerja Harus Diberi Pelatihan (Dibina) untuk Bekerja dengan Aman

Setiap tempat kerja, lingkungan kerja dan jenis pekerjaan memiliki karakteristik dan persyaratan K3 berbeda. Oleh karena itu, K3 tidak dapat timbul sendirinya pada diri pekerja atau pihak lainnya.

K3 harus ditanamkan dan dibangun melalui pembinaan dan pelatihan. Menjalankan mesin atau alat kerja dengan aman memerlukan pelatihan yang sesuai berdasarakan training need analisys. Karenanya, membentuk pekerja yang berbudaya K3 mutlak dilakukan melalui pembinaan dan pelatihan.

05. K3 adalah Cerminan Kondisi Ketenagakerjaan

Tempat kerja yang baik adalah tempat kerja yang aman. Lingkungan kerja yang menyenangkan dan serasi akan mendukung tingkat keselamatan. Karena itu, kondisi K3 dalam perusahaan adalah pencerminan dari kondisi ketenagakerjaan di perusahaan.

Jika kinerja K3 baik, dapat dipastikan bahwa kondisi dalam ketenagakerjaan dala perusahaan tersebut juga berjalan baik. Sistem pembinaan, pengawasan, kepedulian manajemen dan pengupahan yang baik akan mendorong meningkatnya kondisi keselamatan dalam organisasi.

06. Semua Kecelakaan dapat Dicegah

Prinsip dasar ilmu K3 adalah semua kecelakaan dapat dicegah karena semua kecelakaan pasti ada sebabnya. Jika sebab kecelakaan dapat dihilangkan maka kemungkinan kecelakaan dapat dihindarkan.

Prinsip ini mendasari berkembangnya ilmu dalam bidang K3 seperti pengetahuan mengenai berbagai jenis bahaya, perilaku manusia, kondisi tidak aman, tindakan tidak aman, penyakit akibat kerja, kesehatan kerja dan higiene industry. Pandangan bahwa semua kecelakaan dapat dicegah sangat penting untuk memberikan dorongan dalam melakukan upaya pencegahan kecelakaan.

07. Program K3 Bersifat Spesifik

Program K3 tidak dapat dibuat, ditiru atau dikembangkan semaunya. Namun, K3 harus berdasarkan kondisi dan kebutuhan nyata di tempat kerja sesuai dengan potensi bahaya sifat pekerjaan, kultur, kemampuan finansial dan lainnya. Program K3 harus dirancang spesifik untuk setiap organisasi atau perusahaan sehingga tidak dapat sekadar meniru atau mengikuti arahan dan pedoman dari pihak lain.

Sebagai contoh, pengelasan di ketinggian tentu akan berbeda bahaya dan risikonya dengan pengelasan di area pabrikasi seperti biasa. Sehingga, program K3 yang ditetapkan juga haruslah sesuai dengan sifat pekerjaannya.

08. K3 baik Untuk Bisnis

Melaksanakan K3 jangan dianggap sebagai pemborosan atau biaya tambahan, namun harus dilihat sebagai bagian dari proses produksi atau strategi perusahaan. K3 adalah bagian integral dari aktivitas perusahaan. Kinerja K3 yang baik akan memberikan manfaat terhadap bisnis perusahaan (good safety is good business).