Angka Kecelakaan Kerja Tahun 2018 merupakan angka kecelakaan tertinggi dalam 28 tahun terakhir berdasarkan data yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Badan tersebut mengungkap bahwa pada tahun 2018 terjadi 173.105 kasus kecelakaan kerja dengan klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebanyak Rp 1.2 Triliun. Jumlah kasus kecelakaan kerja yang tercatat pada tahun 2018 ini melonjak sekitar 29% dari tahun 2017. Jumlah ini sekaligus “berhasil” mengungguli catatan kecelakaan kerja di semua tahun semenjak tahun 2001.
Pada tahun 2001, jumlah kecelakaan kerja yang tercatat oleb BPJS Ketenagakerjaan berjumlah 104.714. Jumlah tersebut sempat berkurang hingga di bawah angka 100.000 pada tahun 2004-2011. Angka kecelakaan kerja melonjak lagi pada tahun 2012. Pada era Presiden Jokowi, angka kecelakaan kerja tidak pernah turun lagi kecuali pada tahun 2016. Angka kecelakaan kerja yang ada pun seperti selaras dengan angka kematian akibat kecelakaan kerja. Detail angka kecelakaan kerja dan kasus kematian akibat kecelakaan kerja berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut:
Grafik Angka Kasus Kecelakaan Kerja dan Kematian Akibat Kecelakaan Kerja Tahun 2001-2018
Analisa Angka Kecelakaan Kerja
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Hanif Dhakiri, memberikan keterangan pada Tribun News setelah membuka peringatan Bulan K3 Nasional PT Waskita Karya di Cibitung. “Angka Kecelakaan masih cukup tinggi. Kalau kita lihat dari data klaim jaminan kerja di BPJS,” kata Hanif. Ia menambahkan bahwa tingginya angka kecelakaan kerja di tahun 2018 karena pemerintah tengah giat-giatnya melakukan pembangunan infrastruktur. Hanif menuturkan, jenis kecelakaan bukan dikontribusikan saat bekerja tapi mayoritas saat berangkat dan pulang kerja.
Dari tahun 2001, Indonesia menggunakan data BPJS Ketenagakerjaan sebagai referensi untuk tingkat kecelakaan kerja di Indonesia. Padahal data-data tersebut berpotensi bias, karena:
- Tidak semua pekerja di Indonesia mengikuti BPJS Ketenagakerjaan. Biasanya pekerja formil seperti buruh pabrik dan pegawai kantor sudah mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan. Sementara, bagi pekerja di UKM, tukang ojeg pangkalan, montir lepas, kuli bangunan, pembantu rumah tangga, dan petani belum semuanya mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan, Kementerian Tenaga Kerja selaku pelaksana amanat Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja tidak memiliki data terkait dengan kecelakaan kerja yang lebih komprehensif dibandingkan data dari BPJS Ketenagakerjaan.
- Jumlah kecelakaan kerja yang dilaporkan tidak komprehensif. Kecelakaan kerja sangat lah beragam dimulai dari tergores kertas hingga tertimpa mesin. Kecelakaan-kecelakaan yang dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan biasanya adalah kecelakaan besar minimum kasus kecelakaan kerja yang dapat berakibat pada hilang waktu. Kejadian near miss atau first aid ringan biasanya tidak dilaporkan, padahal tidak menutup kemungkinan bahwa kejadian near miss atau first aid ringan juga memiliki lesson learn yang besar.
- Porsi kecelakaan lalu lintas lebih besar. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja bahwa mayoritas kecelakaan kerja saat berangkat dan pulang kerja yang berarti kecelakaan lalu lintas. Kasus kecelakaan lalu lintas ini menjadi elemen bias untuk mengungkap jumlah kecelakaan sebenarnya hanya dalam lingkup tempat kerja. Jumlah kecelakaan kerja lalu lintas yang menjadi mayoritas kata Hanif Dhakiri sebenarnya bertolak belakang dengan pernyataannya sendiri yang menyatakan bahwa tingginya kecelakaan kerja karena pemerintah sedang giat membangun infrastruktur.
- Pemberi kerja enggan melaporkan kecelakaan kerja. Pelaporan kecelakaan kerja bisa berdampak pada rusaknya citra dari pemberi kerja. Tidak menutup kemungkinan ada pemberi kerja yang tidak melaporkan kecelakaan kerja.
Kecelakaan kerja merupakan lagging indicator yang sebenarnya tidak menunjukkan secara presisi tingkat keselamatan dan kesehatan kerja di sebuah tempat. Apabila sebuah tempat tingkat kecelakaan kerjanya sedikit, tidak berarti pada tempat kerja tersebut aman, bisa saja berarti bahwa budaya pelaporan kecelakaan kerja rendah atau para pekerja tidak mengerti untuk melaporkan kecelakaan kerja. Sebaliknya, jika kecelakaan kerja tinggi bukan berarti bahwa budaya keselamatan dan kesehatan kerja rendah, namun bisa saja berarti bahwa tempat kerja tersebut memiliki budaya pelaporan kecelakaan kerja yang baik.
Menurunkan Angka Kecelakaan Kerja
Menteri Tenaga Kerja Indonesia, Hanif Dhakiri, akan melakukan 3 langkah untuk mengurangi tingkat kecelakaan kerja. Pertama, Menaker akan memperbaiki regulasi K3 sehingga memastikan level of complaint dari perusahaan meningkat. Kedua, melakukan pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum K3 sehingga pelanggaran tidak terjadi berulang. Terakhir, Menaker serta jajarannya akan melakukan sosialisasi dan kampanye budaya K3 di semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat yang berada di sekitar lokasi kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja dimulai dari kita dan tidak perlu menunggu orang lain untuk memulainya. Patuhi peraturan terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja serta tegur rekan kerja kita yang belum patuh. Inisiatif kecil kita bisa membawa dampak yang besar untuk keselamatan orang lain.
Sebagai praktisi K3 Indonesia, ini menjadi evaluasi kita bersama. Di tengah semakin banyaknya profesional K3, kok bisa angka kecelakaan kerja semakin meningkat. Kita harus selalu meningkatkan kompetensi kita untuk dapat bermanfaat bagi rekan kerja yang kita lindungi.
Kepada pemerintah, sudah saatnya melakukan pendataan yang lebih komprehensif dan presisi dalam kecelakaan kerja. Sudah hampir 50 tahun Undang-undang 1 tahun 1970 belum pernah diamandemen sementara kecelakaan kerja terus saja meningkat. Program-program K3 jangan sampai hanya menjadi seremoni perayaan gegap gempita di tengah terus meningkatnya angka kecelakaan kerja.