Jika kita mempelajari dasar K3 (Basic OHS) maka kita akan menemukan pemaparan jenis-jenis bahaya (hazard) di tempat kerja yang dibagi menjadi bahaya lingkungan kerja (fisika, kimia, biologi), bahaya mekanik, bahaya psikososial dan budaya kerja, dan bahaya ergonomik. Namun, kita lupa bahwa terdapat satu lagi jenis bahaya yang kerap terabaikan untuk diidentifikasi di dalam HIRA (Hazard Identification and Risk Assessment) yaitu Bahaya Somatis.
Apa itu Bahaya Somatis?
Menilik pengertian bahaya somatis oleh Kurniawidjaja (2011), bahaya somatis adalah bahaya yang sudah terdapat di dalam tubuh pekerja yang berpotensi membahayakan dirinya ketika melakukan aktivitas pekerjaan. Biasanya bahaya somatis berupa penyakit yang sudah dimiliki pekerja. Jika si pekerja yang memiliki bahaya somatis di tubuhnya akan bekerja di suatu lingkungan kerja dimana terdapat agen pemicu kambuh penyakitnya maka kondisi fisik ia akan memperlebar peluang terjadinya kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.
Hal ini tentunya dapat memperparah risiko terhadap kesakitan/cidera bahkan ancaman kematian (fatality) bagi si pekerja.
Contoh Bahaya somatis diantaranya penyakit asma, Penyakit Epilepsy, dan penyakit jantung. Namun, secara prinsip setiap penyakit yang diidap pekerja dapat menjadi bahaya somatis bagi dirinya jika penyakit tersebut menyebabkan penurunan derajat kesehatan pekerja di tempat kerja.
Bahaya somatis (Somatic Hazard) sebenarnya sering kita hadapi dampaknya di tempat kerja namun perhatian untuk mengendalikan bahaya tersebut dipandang menjadi personal issues masing-masing pekerja. Hal ini ditambah dengan isu privasi bahwa kondisi fisik tubuh seseorang merupakan hak pribadi. Terkadang, seseorang merasa malu jika orang lain mengetahui penyakit yang diidapnya. Padahal, jika kita mengetahui potensi-potensi bahaya tersebut yang dimiliki pekerja maka kita dapat mengurangi risiko terjadinya cidera dan kecelakaan kerja bahkan mencegahnya sama sekali.
Contoh Bahaya Somatis
Kita ambil contoh terdapat seorang pekerja yang memiliki penyakit Vertigo. Jika ia bekerja di lingkungan kerja yang mengharuskan ia terpajan suhu ekstrim dengan tipe pekerjaan yang terdapat kondisi bekerja di ketinggian maka dapat kita idenfitikasi di sini bahwa peluang si pekerja jatuh dari ketinggian lebih tinggi jika penyakit vertigo yang dimilikinya kambuh saat melakukan tugas pekerjaannya tersebut dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki penyakit Vertigo. Penyakit Vertigo yang kambuh saat itu dapat menurunkan konsentrasinya dalam bekerja, menyebabkan ia tidak fokus, bahkan bisa kehilangan keseimbangan yang pada akhirnya dapat membuat ia jatuh dari ketinggian.
Contoh lainnya adalah pekerja yang mengidap Penyakit Epilepsy. Penyakit Epilepsy juga menyebabkan seseorang kehilangan keseimbangan dan kesadaran diri ketika penyakit itu kambuh. Bisa dibayangkan jika si pekerja yang memiliki penyakit tersebut ditugasi melakukan pekerjaan yang terdapat bahaya ketinggian di dalamnya. Maka ada potensi si pekerja jatuh ketika melakukan tugasnya jika pada saat itu Penyakit Epilepsy-nya kambuh akibat tubuhnya yang tidak seimbang dan tidak sadar.
Pengendalian Bahaya Somatis
Pada dasarnya segala jenis bahaya kerja dapat dikendalikan menurut prinsip hierarki pengendalian. Jika bahaya tersebut itu tidak mungkin dihilangkan (eliminasi) maka bisa kita lakukan pendekatan pengendalian lainnya semisal mengganti si pekerja yang membawa bahaya somatis itu dengan pekerja yang fit to work. Selain itu, dapat juga mendesain lingkungan kerja dan tipe tugasnya dengan meminimalkan pekerjaan manual menjadi otomatisasi. Pendekatan administrative juga dapat dilakukan semisal menetapkan adanya pengawas kepada pekerja ketika akan melakukan tugas-tugas high risk.
Namun, hal yang paling awal dapat dicegah adalah dengan mengidentifikasi potensi bahaya somatis tubuh pekerja melalui data pemeriksaan kesehatan awal pekerja (pre-employment) sebelum ia ditempatkan di suatu fungsi dan lingkungan kerja tertentu. Idealnya, perlu kerjasama lintas fungsi antara HSE, HR, dan user untuk menyaring hanya pekerja yang benar-benar fit to work dan sesuai kondisi fisik, mental, dan spiritualnya untuk dipekerjakan. Meski begitu, hal ini dapat menjadi pengecualian untuk pekerja disabilitas yang memang sudah diatur kebijakan tersendiri pada setiap perusahaan untuk ditempatkan pada posisi pekerjaan yang sesuai dengan keterbatasan fisik mereka, dengan tidak membahayakan diri si pekerja maupun orang lain di perusahaan.